BEA MATERAI Bag.2

Rabu, 02 Desember 2009

Dari bunyi ps. 1 UU No. 13/1985 tsb. dapat dimaklumi apa yang dimaksud dengan Bea Meterai serta hal-hal lain yang terkait, s.b.b.:
  • Bea-Meterai itu merupakan pajak tak langsung yang dipungut atas dokumen (dahulu tanda/stuk), yaitu kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan.
  • Benda meterai itu dapat berupa meterai tempel dan/atau kertas meterai, yang kedua-duanya dikeluarkan oleh Penguasa, yaitu Pemerintah R.I.
  • Dokumen tsb. harus ditanda-tangani oleh orang/pihak yang berkepentingan, dengan catatan bahwa dengan istilah tanda-tangan, termasuk pula parap, teraan atau cap tandtangan atau cap parap, yang diberlakukan sebagai pengganti tandatangan.
  • Atas permintaan pemegang dokumen ybs., Pejabat Pos (Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro) bertugas melayani permintaan pemeteraian kemudian (nazegeling) atas dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya.

Secara limitatif, UU No. 13/1985 menyebut obyek berupa dokumen yang terhutang Bea Meterai, juga tarif ybs., sebagaimana diatur dalam ps. 2, s.b.b.:
  1. Dikenakan Bea Meterai atas dokumen yang berbentuk
  • Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuk­tian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
  • Akta-akta notaris termasuk salinannya;
  • Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya;
  • Surat yang memuat jumlah uang lebih dan Rp 1.000. 000,— (satu juta rupiah):
  1. yang menyebutkan penerimaan uang;
  2. yang menyatakan pembukuan uang atau penyim­panan uang dalam rekening di bank;
  3. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
  4. yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhi­tungkan;
  • Surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,­(satu juta rupiah);
  • Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepan­jang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,­(satu juta rupiah).

Read more...

BEA MATERAI Bag.1

Berbagai hal mengenai bea meterai yang diatur dalam Zegelverordening 1921 (Stb. 1921-498) dengan segala perubahannya, terakhir dengan Undang-undang No. 2 Prp tahun 1965 (LN 1965 No. 121) yang kemudian ditetapkan men­jadi Undang-undang dengan Undang-undang No. 7 tahun 1969 (LN 1969 No. 38), yang terkenal ruwet itu, telah dicabut dan diganti dengan Undang-undang R.I. No. 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai (LN 1985 No. 69).
Latar belakang atau alasan terjadinya perubahan besar menge­nai bea meterai ini dapat kita ketahui dari Penjelasan Umum UU No. 13/1985 itu sendiri, yang berbunyi:

"Negara Renublik Indonesia sebagai negara hukum yang ber­dasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 memberi­kan hak dan kewajiban yang sama kepada Semua Warga Negara untuk berperanserta dalam Pembangunan Nasional.

Salah satu cara dalam mewujudkan peran serta masyarakat tersebut adalah dengan memenuhi kewajiban pembayaran atas pengenaan Bea Meterai terhadap dokumen-dokumen tertentu yang digunakan.

Pengaturan pengenaan Bea Meterai selama ini yang terdapat dalam Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) (Staatsblad Tahun 1921 Nomor 498) sebagaimana telah bebe­rapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 (Lembaran Negara Tabun 1965 Nomor 121), yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tabun 1969 Nomor 38) tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan di Indonesia sehingga perlu diseder­hanakan.

Untuk itu Undang-undang ini tidak lagi mencantumkan Bea Meterai menurut luas kertas dan Bea Meterai sebanding, melainkan hanya Bea Meterai tetap yang besarnya Rp 1000,— (seribu rupiah) dan Rp 500,— (lima ratus rupiah).

Selanjutnya untuk kesederhanaan dan kemudahan pemenuhan Bea Meterai maka pelunasannya cukup dilakukan dengan menggunakan meterai tempel dan kertas meterai, sehingga masyarakat tidak perlu lagi datang ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk memperoleh Surat Kuasa Untuk Menye­tor (SKUM).

Yang dikenakan Bea Meterai dibatasi pada dokumen-dokumen yang disebut dalam Undang-undang ini, yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum.

Untuk melunasi Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar beserta dendanya (jika ada) dilakukan dengan cara pemete­raian kemudian (nazegeling)."



Menurut ketentuan peralihan (Bab VI) UU No. 13/1985 tersebut:

  • Bea meterai atas dokumen yang dibuat sebelum tgl. 1 Januari 1986 dan ternyata tidak atau kurang dibayar, maka pembayaran/pelunasannya dilakukan berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921,- yang pelaksanaannya diatur oleh Menteri Keuangan (ps. 15).
  • Aturan Bea Meterai 1921 yang tidak bertentangan dengan UU No. 13/1985 tetap berlaku selama peraturan pelak­sanaan Undang-undang itu belum dikeluarkan (ps. 16).

Sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No. 13/1985 itu a.l. berupa:
  • Peraturan Pemerintah R.I. No. 28/1986 ttgl. 5 Juni 1986 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Benda Meterai, yang mulai berlaku pada tgl. 5 Juni 1986, tetapi mempunyai daya iaku surut sejak tgl. 1 Januari 1986
  • Keputusan Menteri Keuangan R.I. No. 230/KMK.04/1986 tentang Bentuk, Ukuran dan Warna Meterai Tempel dan Kertas Bermeterai, ttgl. 8 April 1936, yang mulai berlaku sejak tanggal itu juga.
  • Keputusan Menteri Keuangan R.I. No. 1009/KMK.01/ 1986 tentang Tatacara dan Persyaratan Pengelolaan, Penjualan, Penukaran, Pengembalian, dan Pemusnahan Benda Meterai, ttgl. 1 Desember 1986, yang mulai berlaku sejak tanggal itu juga.
  • Beberapa/berbagai surat edaran dan Direktur Jenderal Pajak, antara lain ttgl. 19 Maret 1986, REF. No. SE­11/PJ.3/1986 tentang Pet.unjuk mengenai pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain berikut lima buah I,ampirannya, yang ditujukan kepada para Kepala Kantor Wilayah Dirjen Pajak dan para Kepala Inspeksi Pajak di seluruh Indonesia.



Read more...

  © Taman Baca Firsta Ilmu Notaris by TB FIRSTA 2008

Back to TOP